BANTING HARGA MINUMAN BERALKOHOL BERDAMPAK KEMATIAN DINI



Barang murah biasanya menjadi impian para konsumen karena dengan uang minimal konsumen bisa mendapat barang yang diperlukan atau diinginkan.
Akan tetapi pemikiran itu tidak selamanya dianggap berdampak positif.
Contohnya di Inggris, banting harga minuman beralkohol dituding mempunyai andil membuat orang cenderung mengkonsumsi dalam jumlah berlebih dan kecanduan. Akibat turunannya antara lain adalah tindak kejahatan dan kematian dini.
Oleh karena itu, banyak pihak meminta kepada pemerintah mengambil tindakan tegas dengan menetapkan harga minimum minuman alkohol, 45 pence per unit atau sekitar Rp7.000 per seperempat liter.
Pembatasan minuman beralkohol ini menjadi perdebatan sengit belakangan dan bahkan sampai di ruang sidang parlemen. Perdana Menteri Inggris David Cameron mengatakan pemerintah masih mempertimbangkan hasil konsultasi.
Lebih murah dibanding Coca Cola
Tetapi PM Cameron menegaskan harga "20 pence untuk lager" harus dihentikan.
Saya buka pecinta atau pembenci alkohol, tetapi menurut saya, harga itu memang terlalu murah. Lebih murah dibanding harga satu kaleng Coca Cola. Ini sulit diterima logika.
Sudah harganya murah, minuman beralkohol seringkali dijual di supermarket dalam kuantitas besar. Saya ambil contoh enam kaleng bir dijual dalam bentuk satu paket harga. Beli satu paket lagi mendapat potongan 100%, buy one get one free.
Anggota parlemen dari Konservatif Sarah Wollaston mendesak pemerintah untuk memegang teguh rencana itu dengan alasan akan menekan angka kejahatan dan kematian dini. Pernyataan Wollaston ini lebih mempunyai bobot karena sebelumnya dia bekerja sebagai dokter umum yang kerap menangani orang mabuk dan kecanduan.

Pembatasan di tengah kesulitan
Belum ada titik temu tentang rencana pembatasan harga. Di kalangan menteri kabinet sendiri masih tarik ulur dan bahkan ada pejabat yang sudah mengatakan penetapan harga minumum mungkin akan dibatalkan. Tarik ulur di lingkungan pemerintah diramaikan dengan suara-suara kalangan industri minuman yang tentu menentang keras penetapan harga.
Mereka beralasan pembatasan akan merugikan "peminum bertanggung jawab" atau mereka yang mengkonsumsi alkohol dalam jumlah moderat, di tengah situasi ekonomi di mana warga harus mengetatkan ikat pinggang.
Kedua, tidak ada bukti yang menjamin pembatasan harga akan mengurangi jumlah kematian akibat alkohol sebanyak 10.000 orang selama 10 tahun.
Siapa bisa memprediksi perilaku konsumen? Minuman alkohol, bir khususnya, sudah mendarah daging bagi publik Inggris. Nongkrong di pub untuk menjalin hubungan sosial sambil menenggak bir. Nobar pertandingan sepak bola, kriket dan rugby di pub dengan ditemani segelas bir.
Muncul pula dilema sisi positif dan negatif dari segi medis. Sejauh ini belum ada bukti yang memastikan bahwa mengkonsumi alkohol dalam takaran yang dianjurkan berbahaya bagi tubuh. Lagi pula beberapa penelitian menunjukkan alkohol mempunyai khasiat bagi kesehatan.

0 komentar: